SEJARAH TEORI KRITIS DAN TRADISI PEMIKIRAN KRITIS
Seperti kita
ketahui, bahwasanya dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan terdapat satu
teori yang bertujuan untuk menjadikannya praksis emansipatoris, yakni teori
kritis. Dimana hal ini memiliki arti bahwa teori kritis ini haruslah menjadikan
manusia agar lebih bebas dari segala bentk dominasi atau tekanan dari struktur
yang mendominasi, termasuk mitos. Teori ini muncul pada lingkungan masyarakat
yang terdapat ekploitasi manusia atas manusia di wilayahnya. Teori ini pertama
kali ditemukan oleh Marx Hokheimer pada tahun 30-an. Marx merupakan filsuf yang
sangat memperhatikan perubahan kondisi produksi kapitalisme yang bukan saja
eksploitatif, tetapi juga membuat manusia teralienasi, baik dengan dirinya
sendiri maupun dengan orang lain. Dan cara yang harus diperbuat untuk bangkit
menuju kebebasan yakni dengan perubahan kelas buruh dengan borjuis, dengan cara
revolusi proletariat. Yang pada akhirnya teori ini dianggap sebagai suatu
kebenaran yang bersifat absolut. Dalam hal ini yang menjadikan hal tersebut
dipandang benar secara utuh karena menjadikan cara berpikir masyarakat sebagai
alat untuk mewujudkan idealitasnya, dengan penolakan atas skeptisisme dengan
mengaitkan nalar dan kehidupan sosial. Teori kritis sendiri juga menghubungkan
ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan doktrin
normatif kebenaran, moralitas dan keadilan. Teori ini telah melampaui batas-batas
mazhab frankfurt. Dahulu dan sebagaian besar pada masa kini, teori kritis
berorientasi eropa, meskipun pengaruhnya kedalam sosiologi amerika tumbuh
semakin pesat.
Adanya teori ini
akhirnya memunculkan tradisi teori kritis yang beragam. Dimana sebagian besar
dari tradisi ini mengkritisi berbagai aspek kehidupan sosial dan intelektual,
terutama hakikat dan sifat masyarakat secara lebih akurat. Dimulai dari kritik
atas teori Marxian hingga pada kritik terhadap Kebudayaan. Dari tradisi
tersebut menjadikan saya sebagai penulis essai ini tergerak untuk memberikan
pandangan atas tradisi-tradisi yang ada pada teori kritis ini.
Dimulai dari
kritik terhadap teori Marxian, dalam teori ini saya melihat bahwasanya setiap
suatu teori yang muncul tidaklah selalu pada posisi benar, adakalahnya untuk
dikritisi.dan teori Marxian inilah yang menjadi awal mula kemunculan kritik
atas teori tersebut yang terdapat determinis ekonomi para Marxis mekanistis
atau mekanis. Dalam hal ini menururt para teoritis merupakan suatu kesalahan
apabila hanya terpusat pada aspek ekonomi saja, akan tetapi haruslah kepada
kehidupan sosialnya, hal ini guna memperbaiki kesenjangan sosial yang terdapat
dalam masyarakat dengan cara kulturasi[i].
Kedua yakni Kritik
Positivisme, sama dengan halnya kritis
terhadap teori Marxian, dalam positivisme juga mengkritisi atas determinisme
ekonomi, dikarenakan beberapa orang yang menganut paham determinisme ekonomi
juga menerima teori pengetahuan positivistik[ii].
Dalam hal ini dapat dilihat bahwasanya para kaum positivis percaya bahwa
pengetahuan bersifat netral, dimana memunculkan pandangan bahwa positivisme
tidak mendukung adanya tindakan sosial tertentu dalam ilmu pengetahuan. Akan
tetapi teori kritik ini ditentang oleh beberapa mazhab kritis karena sejumlah
alasan, semisal alasan karena positivisme cenderung merefikasi dasar sosial dan
melihatnya sebagai proses netral, yang memusatkan perhatian atas aktivitas
manusia maupun bagaimana aktivitas tersebut
memengaruhi struktur sosial yang lebih besar.
Keritik terhadap
sosiologi merupakan tradisi yang ketiga, saya berpandangan bahwa munculnya
kritik ini dikarenakan para teoritis menjadikan metode ilmiah sebagai tujuan
itu sendiri atau saintisme[iii].
Dimana dipandang tidak secara penuh mengkritik masyarakat yang melampaui
struktur sosial yang ada. Adapun menurut mazhab kritis, sosiologi telah
menghindar dari kewajiban untuk membantu orang-orang yang ditindas oleh
masyarakat kontemporer. Yang menjadikan fokus sosiolog pada masyarakat secara
keseluruhan daripada individu dengan masyarakat. Sehingga dipandang tidak mampu
memberikan hal yang besar bagi perubahan politik yang melahirkan “masyarakat
yang adil dan manusiawi”.
Setelah kritik
terhadap sosiologi, mazhab kritis juga mengkritik masyarakat modern sebagai
tradisi teori kritis yang ke-empat, yang termasuk juga berbagai komponen
didalamnya, dalam hal ini tertuju kepadaberubahnya dominasi atas ekonomi
menjadi lebih kepada kultur atau kebudayaan. Dan teori ini tidak hanya
dipengaruhi oleh Marxian saja, akan tetapi juga oleh teori Weberian, yang
memfokuskan mereka pada rasionalitas sebagai perkembangan dominan di dunia
modern. Selain pada rasionalitas kehidupan modern, mazhab kritis juga melihat
bahwa masyarakat modern juga sarat dengan irasionalitas[iv],
karena semua yang rasional dapat mengahncurkan individu dan kebutuhan serta
kemampuan mereka, sehingga perdamaian di pelihara melalui ancaman perang terus
menerus, dimana orang yang miskin akan tetap tertindas, tereksploitasi dan
tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat modern juga
menjadikan teknologi sebagai alat utama, sehingga saya beranggapan bahwa
teknologi ini dapat mengancurkan dan menindas individualitas, yang menjadikan
kebebasan batiniah tercengkeram dan terinvasi oleh teknologi modern. Akibatnya
masyarakat sebagai individu kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan
negatif tentang masyarakat.
Yang terakhir
adalah kritik terhadap kebudayaan, dalam hal ini mazhab kritis memberikan
kritikan terhadap suatu hal yang disebut “industri kebudayaan”, suatu struktur
rasional dan birokrasi semisal televisi yang mengendalikan kebudayaan modern.
Ketertarikan terhadap industri kebudayaan baru inilah yang mencerminkan
perhatian mereka terhadap konsep “suprastruktur” yang menghasilkan budaya massa
daripada bidang ekonomi, budaya massa sendiri digambarkan sebagai kebudayaan
yang diatur, tidak spontan tereifikasi dan palsu daripada sesuatu yang riil[v].
Terdapat dua hal kekhawatiran atas industri ini. Pertama, ketakutan akan
kepalsuan yang ada didalamnya, yang dianggap sebagai gagasan yang sudah dikemas
sebelumnya yang dihasilkan secara massal dan disebarluaskan kepada massa oleh
media. Kedua, para teoritis terusik oleh efek menaklukkan, represif, dan
membodohkan bagi masyarakat. Atas hal tersebut, Keller melihat televisi sebagai
ancaman bagi demokrasi, individualitas, dan kebebasan, serta mengajukan saran
semisal akuntabilitas yang lebih demokratis, akses dan partisipasi warga negara
yang lebih besar untuk mengatasi ancaman ini. Keller melampaui kritik dengan
cara menawarkan usulan yang tadi guna mengatasi bahaya yang akan muncul pada
televisi-televisi.
Pada dasarnya yang
dapat saya lihat dalam kritik terhada kebudayaan ini ialah terpusatnya
pemikiran akan keberadaan pembuat budaya baru yang bersifat massal dan dengan
mudah dapat diterima dan masuk kepada segala lini lapisan masyarakat yakni
televisi sebagai contohnya. Senada dengan para mazhab kritis, memang benar
apabila kita tidak jeli dan kritis akan ketimpangan yang ada dalam era modern
saat ini, kita akan terancam secara perlahan dalam hal naluri sosial kita,
disisi lain kita akan lebih terpaku pada informasi yang mungkin dapat kita cari
kebenarannya secara langsung akan tetap kita lebih memilih untuk berdiam diri
dan hanya mengetahui kebenaran lewat media yang sebenarnya belum tentu benar.
Pada akhirnya kita
harus dituntut untuk lebih kritis akan sesuatu hal yang ada disekitar kita.
Dimulai dari diri sendiri sebagai individu yang berada pada sistem masyarakat,
kita haruslah peka dan lebih mencermati betul kejadian ataupun hal yang ada
disekeliling kita dengan ikut membangun sikap kritis yang mengarah pada hal
yang bersifat postif bagi kehidupan kita dan bagi kehidupan masyarakat luas
tanpa ada unsur merusak moralitas. Karena misi utama kita sebagai manusia dalam
mengkritik suatu hal yakni menginginkan sesuatu yang lebih baik lagi daripada
sebelumnya yang sesuai dengan cita dan keinginan diri kita masing-masing dan
dengan tanpa mengesampingkan kepentingan bagi individu lainnya dalam suatu
kelompok tersebut.
No comments:
Post a Comment