Wasiat
artinya pesan atau sesuatu kebajikan yang harus disampaikan sesudah seseorang
meningal dunia. Hukum wasiat adalah sunnah bagi tiap-tiap orang, sebab manusia
senantiasa berada dalam kekuasaan Tuhan,dan tidak seseorang pun mengetahui
kedatangan maut.dalam hal ini ,membayar utang harus didahulukan sebelum wasiat
dilaksanakan.
Allah SWT,berfirman:
Artinya: “ (Pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
utangnya. “
Rukun-rukun Wasiat
1. Mausi (orang yang berwasiat)
2. Mausilah (tempat berwasiat)
3. Mausibih (orang yang diwasiatkan)
4. Lafal Wasiat (pesan sebelum meninggal)
Syarat Sah Berwasiat
1. Yang berwasiat itu mukallaf, merdeka serta
melakukannya atas kemauan sendiri walaupun ia bodoh atau kafir. Tidaklah sah
berwasiat dari anak-anak, orang gila, dan orang yang terpaksa.
2. Tempat memberikan wasiat dihalalkan (dibolehkan) dalam
agama islam, seperti masjid, madrasah, dan lain-lainnya. Tidaklah sah berwasiat
ke tempat-tempat yang diharamkan oleh agama,seperti gereja,rumah berhala,
tempat judi, dan lain-lainnya.
3. Tempat memberikan wasiat itu jelas ada dan ada pula
ahli milik wasiat ketika berwasiat. Tidaklah sah wasiat orang islam kepada
orang kafir, wasiat kepada jenazah, atau binatang ternak sebab semua itu tidak
dapat memiliki wasiat itu.
4. Wasiat tidak lebih dari sepertiga harta orang yang
berwasiat. Bila ada seseorang berwasiat lebih dari sepertiga hartanya,yang sah
hanyalah yang sepertiga itu,sedangkan selebihnya adalah hak waris.
Syarat Harta
yang Diwasiatkan
Ulama fikih
mengemukakan beberapa persyaratan terhadap harta yang akan diwasiatkan, yaitu:[1]
Harta/benda yang diwasiatkan adalah sesuatu yang bernilai harta secara syara’
(al-mutaqawimah). Oleh sebab itu, apabila harta yang diwasiatkan itu tidak
bernilai harta menurut syara’, seperti minuman keras dan babi, maka wasiatnya
tidak sah. Secara lahirnya, minuman keras dan babi merupakan harta, tetapi bagi
umat Islam kedua benda itu tidak termasuk harta yang halal sehingga tidak sah
dijadikan objek wasiat.
-
Harta yang diwasiatkan adalah
sesuatu yang bisa dijadikan milik, baik berupa materi maupun manfaat. Misalnya,
mewasiatkan sebidang tanah, seekor unta, atau mewasiatkan pemanfaatan lahan
pertanian selama 10 tahun, atau mendiami rumah selama satu tahun. Bahkan ulama
fikih membolehkan mewasiatkan sesuatu yang akan ada, sekalipun ketika akad
dibuat, materi yang diwasiatkan belum ada. Misalnya, mewasiatkan buah- buahan
dari sebidang kebun. Ketika wasiat dibuat, pohon itu baru
berputik, apabila pemilik kebun berwasiat, “apabila saya wafat, buah-
buahan dikebun ini saya wasiatkan pada fulan.” Maka wasiatnya sah.
-
Harta yang diwasiatkan adalah milik
mushi (pewasiat), ketika berlangsungnya wasiat.
-
Harta yang diwasiatkan
itu tidak melebihi 1/3 (sepertiga) harta
mushi (pewasiat).
-
Sesuatu yang diwasiatkan tidak
mengandung unsur maksiat.
Isi Wasiat
Isi dari
sebuah wasiat tidaklah boleh melebihi dari sepertiga harta yang ia miliki,
karena nanti penerima wasiat akan dianggap mengambil hak ahli warisnya,dan itu
dialarang oleh agama. Ahli waris, yaitu anak, ibu, bapak, dan lain-lain, tidak
perlu diwasiatkan untuknya sebab mereka akan menerima bagiannya masing-masing
menurut ketentuan hukum yang telah ditetapkan walaupun tidak diamanatkan.
Artinya : Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa. Qs. Al – Baqarah 180
Menurut
fatwa Ibnu Abbas tentang ayat ini,wajibnya wasiat kepada orang-orang yang
berhak mewarisi harta pewaris telah dimusnahkan. Akan tetapi, masih tetap ada
hak wasiat bagi orang-orang yang bukan ahli waris. Sependapat dengan Ibnu Abbs
,ialah Hasan, Masruq, Thaus, Dhakhak, dan Muslim bin Yaasar. Alasan mereka
adalah hukum ayat wajib wasiat kepada ibu bapak dan karib kerabat mewarisi itu
telah dimusnahkan oleh ayat-ayat mirats (ayat-ayat harta pusaka dan ahli waris)
dan hadits tersebut diatas. Sesekalipun demikian, wajibnya berwasiat yang
dimaksudkan ayat itu masih tetap bagi karib kerabat yang tidak akan mewarisi.
Hal-hal yang
membatalkan wasiat
Sah atau tidak sahnya wasiat
tergantung dari praktik wasiat itu, apakah sudah memenuhi segala rukun dan
persyaratan wasiat yang telah ditetapkan. Jika wasiat sudah memenuhi segala
rukun dan persyaratannya maka wasiat dianggap sah dan bisa dilaksanakan,
sebaliknya jika tidak memenuhi segala rukun dan persyaratan, atau
tidak terpenuhi salah satu rukun dan persyaratannya maka wasiat dianggap batal
dan tidak sah, karenanya tidak menimbulkan akibat hukum apa pun. [2]
Ulama fikih menetapkan
beberapa hal yang dapat membatalkan wasiat, sebagiannya disepakati seluruh
ulama fikih dan sebagian lainnya diperselisihkan. Adapun hal-hal yang
disepakati dapat membatalkan wasiat adalah:
1.
Dari aspek pewasiat (mushi)
o
Mencabut wasiatnya,baik secara
terang-terangan maupun melalui tindakan hukum;
o
Yang berwasiat mewasiatkan yang
bukan miliknya;
o
Yang berwasiat tidak cakap hukum;
2.
Dari aspek penerima wasiat
o
Penerima wasiat menyatakan
penolakannya terhadap wasiat tersebut;
o
Orang yang menerima wasiat tidak
jelas;
o
Penerima wasiat lebih dahulu
meninggal daripada yang berwasiat;
o
Penerima wasiat membunuh orang yang
berwasiat;
o
Penerima wasiat menggunakannya untuk
perbuatan maksiat;
o
Penerima wasiat adalah ahli waris si
pemberi wasiat.
3.
Dari aspek harta yang diwasiatkan
o
Harta yang diwasiatkan musnah,
seperti terbakar atau hancur ditelan banjir;
o
Penerima wasiat meminta harta lebih
dahulu sebelum orang yang berwasiat meninggal;
o
Benda yang diwasiatkan adalah yang
diharamkan atau tidak bermanfaat secara syara’;
o
Wasiat lebih dari 1/3 (sepertiga)
harta orangb yang berwasiat.
4.
Syarat yang ditentukan dalam akad
wasiat tidak terpenuhi. Misalnya, pewasiat mengatakan, “Apabila sakit saya ini
membawa kematian, maka saya wasiatkan sepertiga harta saya untuk
Fulan.” Tetapi, ternyata si pewasiat itu sembuh dan tidak jadi wafat, maka
wasiat itu batal.
No comments:
Post a Comment