Selamat datang di blog pribadiku.di sini anda bisa melihat beberapa catatan saya dan artikel saya yang mudah-mudahan bisa bermanfaat dan bisa menginspirasi anda semua.

Friday 24 August 2018

Materi Makalah Hibah

Pengertian Hibah
   Hibah disebut juga hadiah atau pemberian. Dalam istilah syara’, hibah berarti memberikan sesuatu kepada orang lain selagi masih hidup sebagai hak miliknya, tanpa mengaharapkan ganti atau balasan. Apabila mengaharap balasan semata-mata dari Allah,hal itu dinamakan sedekah. Kalau memuliakannya dinamakan hadiah. Tiap-tiap sedekah dan hadiah boleh dianamakan pemberian,tetapi tidak untuk sebaliknya.

قَالَ رَسُو لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ } لَوْ أُهْدِيَتْ لِي ذِرَ اعٌ لَقَبِلْتُ وَ لَوْ دُعِيتُ إِلَى كُرَ اعٍ َلأَجَبْتُ
Artinya : "Seandainya aku diberi hadiah sepotong kaki kambing, tentu aku akan menerimanya. Dan seandainya aku diundang untuk makan sepotong kaki, tentu aku akan mengabulkan undangan tersebut.

            Hibah mutlak tidak menghendaki imbalan, baik yang semisal, atau yang lebih rendah, atau yang lebih tinggi darinya. Inilah hibah dengan maknanya yang khusus. Adapun hibah dengan maknanya yang umum, maka ia meliputi hal-hal berikut:

1. Ibraa: menghibahkan hutang kepada orang yang berhutang.
2. Sedekah: yang menghibahkan sesuatu dengan harapan pahala di akhirat.
3. Hadiah: yang menuntut orang yang diberi hibah untuk memberi imbalan
                 Didalam syara” sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan maka harta tersebut disebuti’aarah (pinjaman)[1]
     Hukum hibah

                 Hibah disyariatkan dan dihukumi mandub (sunat) dalam Islam. Dan Ayat ayat Al quran maupun teks dalam hadist juga banyak yang menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong menolong dan salah satu bentuk tolong menolong tersebut adalah memberikan harta kepada orang lain yang betul – betul membutuhkannya.

  1. Allah telah mensyari'atkan hibah, karena hibah itu menjinakkan hati dan meneguhkan kecintaan diantara manusia. Dari Abu Hurairah r.a.: bahwa Rasulullah saw. bersabda:
  عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " تَهَادُوا، تَحَابُّو 
"Saling memberi hadiahlah, maka kamu akan saling mencintai."
  1. Adalah Nabi saw. menerima hadiah dan membalasnya, Beliau menyerukan untuk menerima hadiah dan menyukainya. Dari Khalid bin 'Adi, bahwa Nabi saw. bersabda;
مَنْ بَلَغَهُ مَعْرُوفٌ عَنْ أَخِيهِ مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ، وَلَا إِشْرَافِ نَفْسٍ، فَلْيَقْبَلْهُ وَلَا يَرُدَّهُ، فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِ
"Barangsiapa mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harap dan meminta-minta , maka hendaklah dia menerimanya dan tidak menolaknya, karena itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya.
  1. Rasulullah saw. telah menganjurkan untuk menerima hadiah, sekalipun hadiah itu sesuatu yang kurang berharga. Dari Anas, dia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw.
قَالَ رَسُو لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ } لَوْ أُهْدِيَتْ لِي ذِرَ اعٌ لَقَبِلْتُ وَ لَوْ دُعِيتُ إِلَى كُرَ اعٍ َلأَجَبْتُ
"Seandainya aku diberi hadiah sepotong kaki kambing, tentu aku akan menerimanya. Dan seandainya aku diundang untuk makan sepotong kaki, tentu aku akan mengabulkan undangan tersebut."

Rukun Hibah
Menurut jumhur ulama’ rukun hibah ada empat:
a.    Wahib (Pemberi)
Wahib adalah pemberi hibah, yang menghibahkan barang miliknya kepada orang lain.
b.    Mauhub lah (Penerima)
Penerima hibah adalah seluruh manusia dalam arti orang yang menerima hibah.
c.    Mauhub
Mauhub adalah barang yang di hibahkan.
d.   Shighat (Ijab dan Qabul)
Shighat hibbah adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan ijab dan qabul.
Syarat-syarat hibah
Hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi hibah, dan sesuatu yang dihibahkan.
a.       Syarat-syarat penghibah:
1.    Penghibah memiliki sesuatu untuk dihibahkan
2.    Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan.
3.    Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.
4.    Penghibah itu tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya.
b.      Syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah
Orang yang diberi hibah disyaratkan benar-benar ada waktu diberi hibah. Bila tidak benar-benar ada, atau diperkirakan adanya, misalnya dalam bentuk janin, maka hibah tidak sah. Apabila orang yang diberi hibah itu ada  di waktu pemberian hibah, akan tetapi dia masih atau gila, maka hibah itu diambil oleh walinya, pemeliharaannya atau orang mendidiknya sekalipun dia orang asing.
c.       Syarat-syarat bagi yang dihibahkan
1)   Benar-benar ada
2)   Harta yang bernilai
3)   Dapat dimiliki dzatnya, yakni bahwa yang dihibahkan itu adalah apa yang bisa dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat berpindah tangan. Maka tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan di laut, burung di udara, masjid-masjid atau pesantren-pesantren.
4)    Tidak berhubungan dengan tempat pemilik hibah, seperti menghibahkan tanaman, pohon, atau bangunan tanpa tanahnya.
5)   Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum, sebab pemegangan dengan tangan itu tidak sah kecuali bila ditentukaan (dikhususkan) seperti halnya jaminan.[2]
Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh hibah yakni, Pertama, dengan beri memberi akan menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang antara sesama manusia.  Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi itu termasuk ajaran dasar agama Islam. Kedua, yang dituju oleh anjuran hibah adalah terbentuknya kerjasam dalam berbuat baik, baik dalam menanggulangi kesulitan saudaranya, maupun dalam membangun lembaga-lembaga sosial.[3]


[1] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987), Cet.  XX, hlm. 174
[2] Sayyid Sabiq, 0p. Cit., hlm. 178-180
[3] H. Satria Effendi M. Zein, MA, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. I, hlm. 471-472

No comments: